Terorisme Pasca-keterlibatan Perempuan

Terorisme Pasca-keterlibatan Perempuan
Ilustrasi Serambi Indonesia

Aksi terorisme oleh seorang perempuan kembali terjadi. Kali ini penembakan tepat di jantung institusi Polri, Markas Besar Kepolisian RI (31/3). Tiga hari sebelumnya, aksi bom bunuh diri (suicide bomber) juga dilakukan oleh seorang perempuan bersama suaminya di depan gerbang Katedral, Makassar (28/3). Dua peristiwa ini menambah daftar pelaku ekstremis perempuan dalam aksi-aksi terorisme di Indonesia.

Sejak pertama kali muncul kasus Dian Yulia Novi, perempuan ekstremis yang merencanakan serangan bom bunuh diri ke Istana Negara tahun 2016 silam, keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme di Indonesia terus meningkat. Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mencatat bahwa sejak tahun 2015 sampai 2020, keterlibatan perempuan ekstremis terus menguat. Tercatat lebih dari 40 perempuan ditangkap, baik yang telah melakukan penyerangan maupun yang masih berencana akan melakukan serangan.

Beberapa penyerangan oleh seorang perempuan pernah dilakukan antara lain oleh Puji Kuswati (pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya), Sari Puspitarini (pelaku bom bunuh diri di rumah susun Wonocolo Sidoarjo), Siska Nur Azizah dan Ditta Siska Millenia (pelaku penusukan terhadap polisi di Mako Brimob), Solimah (pelaku bom bunuh diri di Kabupaten Sibolga), dan juga Fitri Diana (istri pelaku penusukan mantan Menkopolhukam Wiranto).

Inisiatif mandiri

Menariknya, keterlibatan perempuan dalam tindak terorisme tak hanya menguat, akan tetapi juga makin menunjukkan kemandirian dan inisiatif sendiri dalam rencana aksi-aksinya. Artinya seorang perempuan yang melakukan amaliyat tidak selalu bergantung pada otoritas atau legitimasi kelompok laki-laki/ suami. Beberapa kasus penyerangan oleh seorang perempuan ternyata dilakukan tanpa persetujuan seorang suami.

Hal ini justru menjadi kontradiktif bila merujuk pada doktrin kelompok teror yang menyebut perempuan selalu di bawah kontrol dan otoritas laki-laki. Kasus kerusuhan di Mako Brimob misalnya, dua perempuan ekstrem, Siska Nur Azizah dan Ditta Siska Millenia berinisiatif secara mandiri untuk membantu kelompok ekstrem laki-laki yang tengah dikepung oleh aparat pada saat itu. Begitu halnya dengan kasus Anggi, perempuan pekerja migran Indonesia di Hongkong yang berinisiatif sendiri melakukan tindakan teror pasca teradikalisasi melalui media sosial telegram.

Hal ini menunjukkan bahwa kendati secara umum pelaku teror perempuan masih bergantung pada laki-laki dalam mengeksekusi serangan, namun dalam beberapa kasus ditemukan perempuan yang berinisiatif secara mandiri tanpa menunggu instruksi laki-laki. Tentu saja bagi pelaku teror, aksi serangan oleh perempuan dinilai efektif karena tidak mudah diidentifikasi. Sementara bagi aparat penegak hukum, aksi penyerangan seorang perempuan dapat membuat penanganan terorisme di Indonesia makin rumit.

Teror yang dilakukan oleh perempuan justru makin sulit untuk dideteksi gerak-geriknya karena pola pergerakan mereka yang personal. Apalagi sosok perempuan cenderung tidak dicurigai dan tidak mendapatkan perhatian serius dari aparat. Perempuan juga cenderung dianggap sebagai pihak yang jarang masuk dalam pantauan aparat keamanan. Ditambah lagi stereotip dan stigma gender di kalangan masyarakat yang melihat sosok perempuan cenderung dianggap pasif dan dikira tidak mungkin melakukan kekerasan, apalagi aksi terorisme.

Dan yang paling menarik perhatian, perempuan memiliki daya tarik luar biasa bagi media massa, terutama di era media sosial. Pemberitaan mengenai keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi dramatis terorisme dapat memperkuat narasi ekstremis untuk menimbulkan ketakutan di kalangan khalayak. Dan ini yang berbahaya, aksi-aksi mereka bisa menjadi inspirasi bagi kelompok ekstremis lain untuk melakukan hal serupa, seolah peristiwa itu mengundang kelompok dan jaringan teroris lain untuk melakukan perbuatan yang sama.

Babak Baru

Peristiwa ini tentu menjadi babak baru penanganan terorisme di Indonesia. Meskipun sel-sel pelaku teror diyakini masih jaringan yang telah ada sejak lama, namun pola aksi yang dilakukan terus mengalami perubahan. Aksi penyerangan dan bom bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan menyiratkan suatu bentuk perjuangan dan pola baru serangan terorisme mutakhir. Bila dalam satu dekade terakhir keterlibatan perempuan tidak sampai pada tahap aksi atau amaliyat, dan masih cenderung berada dalam ranah domestik, akan tetapi dalam lima tahun terakhir, perempuan turut menjadi pelaku serangan teror.

Babak baru penanganan terorisme di Indonesia tidak lagi terfokus pada pola “tradisional” yang dilakukan melalui bentuk serangan-serangan terkoordinasi dan masif. Kita mungkin tidak melihat kembali serangan kelompok-kelompok yang tergabung dalam satu rantai komando yang sangat masif. Hal ini karena prevalensi jaringan teroris, sel otonom, dan aksi individual telah tumbuh. Meski serangannya cenderung tidak matang, akan tetapi para pelaku teror terbukti bisa menghubungkan kelompok-kelompok teroris dengan kerahasiaan yang super tinggi dan penanganan yang makin rumit.

Pencegahan dan penanggulangan terorisme sudah saatnya memfokuskan perhatiannya pada peran perempuan sebagai fighter atau bomber. Untuk membaca aktor pelaku teror perempuan, setidaknya bisa berasal dari empat kategori ini: Pekerja Migran Indonesia di Asia Timur dan Timur Tengah; perempuan yang telah bergabung atau minimal membaiat kepada IS; perempuan yang mencoba menyeberang ke perbatasan Turki dengan Suriah; dan perempuan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso yang berevolusi menjadi Jamaah Anshorut Tauhid (JAT).

Ahmad Hifni, Peneliti Terorisme dan Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Comments

Popular posts from this blog

Kabar Terbaru KRI Nanggala

5 Berita Populer: Aisyah Aqilah Rindu Jeff Smith, Mertua Mona Ratuliu Meninggal

Sapi Limosin Bernama Posh Spice Ini Laku Rp 5,1 M: Termahal se-Dunia