Pimpinan KPK Bicara Biaya Politik Mahal: Jadi Gubernur Butuh Rp 100 M
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengungkapkan bahwa biaya politik di Indonesia sangat tinggi. Bahkan untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur butuh biaya hingga Rp 100 miliar.
"Kami melakukan survei, ya, kepala daerah tingkat dua itu paling enggak harus menyediakan dana itu Rp 20-30 miliar. Gubernur itu di atas Rp 100 miliar," kata Alex dalam pembekalan antikorupsi bagi Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang dan jajarannya yang mengikuti Program Politik Cerdas Berintegritas (PCB) Gedung ACLC KPK, Kamis (30/6/).
Biaya mahal tersebut kemudian disebut jadi embrio tindak pidana korupsi yang kerap menjerat kepala daerah. Sebab, biaya sebesar itu tidak hanya berasal dari kantong sendiri, tapi dibiayai sponsor.
Alex mengatakan sponsor tersebut tak gratis. Jika terpilih menjadi kepala daerah, kerap terjadi modus balas budi untuk mendapatkan proyek sampai memuluskan perizinan.
"Dari hasil survei kami maupun Kementerian Dalam Negeri ada sponsor. Boleh dan dibolehkan itu sponsor. UU kan membolehkan, perusahaan menyumbang bahkan perorangan menyumbang," terang Alex.
"Tapi apakah sumbangan itu gratis? Oh, ternyata tidak. Ada harapan dari penyumbang, apalagi yang menyumbang itu perusahaan, kontraktor di daerah," tambahnya.
Pembiayaan besar ini tak hanya berlaku kepada calon kepala daerah. Untuk menjadi anggota legislatif pun membutuhkan dana miliaran rupiah.
"Biaya politik kita itu mahal. Untuk menjadi anggota DPRD, DPR, bahkan kepala daerah, enggak ada yang gratis bapak ibu sekalian," kata Alex.
Alex pun mengaku prihatin dengan mahalnya biaya politik di Tanah Air. Terlebih, sejak KPK berdiri sudah ada 300 pejabat yang terdiri dari 20 gubernur, 140 bupati atau wali kota, dan 30 menteri dari berbagai partai politik hingga pejabat parlemen ditangkap KPK.
"Tentu ini menjadi suatu angka-angka yang tentu saja tidak membanggakan. Tapi ya memprihatinkan," kata Alex.
Selain itu, kata dia, praktik balas budi antara calon kepala daerah dan pengusaha ini juga langsung berdampak pada masyarakat. Sebab, tak jarang proyek-proyek pembangunan untuk masyarakat sudah dibagi-bagi jauh-jauh hari.
“Ketika suatu kegiatan proyek itu sudah dipesan dari awal, bahkan dari mulai perencanaan yang nanti akan disetujui oleh teman-teman anggota DPRD atau DPR. Wah, proyek A kegiatan A dengan anggaran sekian punya PT ini,” kata Alex.
“[kalau sudah begitu] pasti lelangnya enggak benar, proses lelang enggak benar, kalau lelangnya enggak benar, ya pasti harga yang terbentuk juga tidak benar. Pasti tidak akan efektif,” katanya.
Kata dia, biasanya harganya di-mark up. Atau mendekati pagu anggaran. “Yang pagu anggaran sendiri juga sebetulnya enggak benar, karena pesanan tadi kan pagunya ditinggikan,” tambah Alex.
Dengan proses seperti ini, Alex meyakini pelaksanaannya pun pasti buruk. Karena dalam pelaksanaannya kerap ada permintaan fee, termasuk kepala daerah. Belum lagi kualitas dari pengerjaan proyek yang tidak sesuai.
“Permintaan fee proyek itu 5-15 persen, tuh, sudah lazim,” ungkap Alex berdasar pengalamannya menjerat kepala daerah.
“Jadi, hal-hal seperti itu Bapak Ibu sekalian, sangat-sangat memprihatinkan, sangat menyedihkan. Dan tentu bapak ibu sekalian, kalau infrastrukturnya itu tidak baik, itu dampaknya luas, pasti ekonomi masyarakat pasti terganggu,” pungkasnya.
Comments
Post a Comment