Banyak Anak Terjerat Pidana, Sudah Pantas Dihukum?
Deretan kasus kriminal yang mendapat sorotan belakangan ini dilakukan oleh pelaku yang masih berada di bawah umur atau golongan anak di mata hukum. A (15), terlibat kasus penganiayaan David oleh Mario. Terbaru, AJ (17) membunuh pacarnya yang berusia 14 tahun usai berhubungan seks.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan hukuman yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan Anak. Batas usia anak itu ditentukan dari para ahli keilmuan, baik dari psikolog anak, psikiatri anak hingga ahli kesehatan. Di Indonesia kategori anak adalah mereka yang berusia sebelum 18 tahun.
Namun, menurut Ahli Hukum Universitas Indonesia, Gandjar, tindak pidana yang dilakukan anak sudah marak terjadi sejak lama. Meski demikian, menurutnya, menurunkan atau menambah batasan usia anak bukan menjadi solusi dari permasalahan maraknya terjadi tindak pidana oleh anak.
"Anak kurang didik atau kurang perhatian yang lakukan kejahatan, sepatutnya dididik. Bukan dihukum. Terkait kemungkinan batasan umur itu diturunkan harus proses revisi UU SPPA. Tapi solusinya bukan mengubah atau menurunkan batas usia atau memperberat pidana," ujar Gandjar kepada kumparan, Senin (27/3).
Gandjar menegaskan, peran pemerintah dan lembaga terkait, serta dengan dorongan masyarakat, yakni fokus pada aspek pencegahan.
"Negara nggak cukup memberi perhatian pada anak kok pingin anak bangsa sebagai generasi penerus baik-baik aja?" imbuhnya.
Artinya, imbuh Gandjar, sampai saat ini sarana dan prasarana termasuk infrastruktur penunjang kegiatan anak belum maksimal.
Kemudian, ada juga faktor pola didik di lingkungan keluarga. Di kota-kota besar, orang tua bukan lagi menjadi orang terdekat yang dipercaya oleh anak-anaknya.
"Keluarga bukan lagi orang terdekat, bukan lagi dijadikan tempat anak-anak saling berbagi tentang kehidupannya sehari-hari," tuturnya.
"Masalah hukum atau kejahatan anak tidak selamanya dapat diselesaikan oleh (proses) hukum karena akar masalahnya memang bukan hukum," tegasnya.
Hal yang sama diutarakan oleh Komisioner KPAI Dian Sasmita terkait pendekatan yang dilakukan kepada anak yang berkonflik hukum.
Menurutnya, upaya yang dilakukan dalam UU SPPA bertujuan untuk memulihkan rasa keadilan kepada korban, masyarakat, hingga pelaku atau anak dengan konflik hukum (AHK) itu sendiri.
"Pendekatan UU SPPA bukan penjaraan, namun melakukan pendekatan keadilan restoratif. UU SPPA dan UU Pa melihat AKH sebagai korban yang membutuhkan intervensi agar ada perubahan perilaku," paparnya.
Sementara itu, Psikolog Anak, Yanwar Arief, mengungkap dalam psikologi usia 17-18 tahun sudah tidak bisa dianggap anak-anak lagi.
Saat seseorang berusia 15 tahun, dia dinilai sudah mulai memahami dan mengerti kondisi sekitarnya sehingga dapat mengetahui benar dan salah.
"Usia 15-16 tahun untuk kondisi saat ini sudah bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Setelah 14 tahun, anak sudah mengetahui benar dan salah," ujar Yanwar.
Comments
Post a Comment