MK Bertanggung Jawab atas Luka yang Tidak Akan Sembuh
Sengketa pilpres telah usai. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus menolak seluruh tuntutan dari pemohon paslon capres cawapres 01 dan 03. Kemudian, pasangan capres dan cawapres 02 telah ditetapkan oleh KPU sebagai Presiden dan Wapres terpilih 2024-2029.
Apakah dengan demikian semua permasalahan berkenaan dengan penetapan paslon 02 sebagai capres-cawapres dan dugaan pelanggaran etika olen penguasa selama proses kampanye serta berbagai kecurangan yang terjadi selesai?
Penulis menilai bahwa MK selaku institusi bertanggung jawab memulai 'kekacauan' hukum yang terjadi di Indonesia dan MK selaku institusi tidak sanggup bahkan tampak sungkan menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkannya sendiri.
Akibatnya, Wapres terpilih bangsa Indonesia 2024-2029 adalah Wapres yang lahir dari suatu putusan yang kontroversial yang bersumber dari pelanggaran etika berat (antara lain benturan kepentingan). Ini adalah suatu kenyataan yang tidak enak bagi bangsa Indonesia, suatu luka yang tidak bisa disembuhkan.
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 (Putusan 90) yang menjadi dasar pencalonan Gibran sebagai cawapres dan kemudian menjadi Wapres terpilih adalah putusan yang kontroversial dan problematik. Ada tiga kelompok hakim konstitusi di dalam putusan itu.
Tiga hakim, termasuk mantan ketua MK menyetujui permohonan, dua hakim konstitusi mempunyai alasan berbeda, dan empat hakim konstitusi menolak dengan pendapat berbeda.
Di sisi lain, ada dua kelompok hakim konstitusi di Putusan MK No. 1/PHPU.PRES-XXII/2024 (Putusan 1) dan No. 2/PHPU.PRES-XXII/2024 (Putusan 2), yaitu lima hakim konstitusi menolak permohonan dan tiga hakim konstitusi mempunyai pendapat berbeda.
Dari segi permohonan, keduanya jelas berbeda, Putusan 90 adalah mengenai pengujian undang-undang. Sedangkan, Putusan 1 dan 2 adalah mengenai sengketa pilpres. Tentu kedua permohonan berbeda jenis dan tidak bisa dibandingkan apple to apple.
Namun, penulis hendak menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendekatan pertimbangan hukum yang mencolok dari kedua jenis perkara tersebut. Analisis di bawah belum memperhatikan dissenting opinion yang terjadi di kedua perkara.
Pertimbangan hukum Putusan 90 yang memberi alternatif makna capres cawapres bisa berusia di bawah 40 tahun sepanjang pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah, begitu ekstensif membahas moral dan keadilan.
Bahkan, dalam pertimbangan hukum-nya, pembatasan usia minimal 40 tahun bermuara pada ketidakadilan yang intolerable. MK menjelaskan bahwa intolerable karena pembatasan tersebut menghilangkan kesempatan sosok generasi muda yang pernah terpilih dalam pemilu untuk ikut berkontestasi sebagai capres atau cawapres.
Berlawanan dengan Putusan 90, Putusan 1 dan 2 berlandaskan pada hukum hampir sepenuhnya, tanpa ada penekanan kuat mengenai moral, etika, dan keadilan. Bahkan, sama sekali tidak ada pertimbangan mengenai ketidakadilan yang intolerable, meski senyatanya, istilah tersebut didalilkan di dalam permohonan.
Kedua, pertimbangan hukum Putusan 90 merujuk kepada “ex aequo et bono” yang tertera di dalam petitum pilihan/pengganti. Istilah tersebut berarti “berdasarkan apa yang adil dan baik.”
MK mempertimbangkan bahwa demi memenuhi kepastian hukum yang adil maka rumusan norma berusia paling rendah 40 tahun perlu dimaknai mengandung alternatif “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih…”
Di sisi lain, pertimbangan hukum pada Putusan 1 dan 2 bernuansa kental legalitas formal hukum pembuktian yang dianggap MK tidak terbukti, entah kurang diuraikan, MK tidak memperoleh keyakinan akan kebenaran dalil, kurang dibuktikan lebih lanjut, yang semuanya bermuara pada “dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.”
Jika mengingat ke belakang, latar belakang permohonan yang kemudian diputus dengan Putusan 90 sarat dengan kepentingan politik praktis, antara lain, rumor dan kepentingan politik yang memang mewacanakan Gibran sebagai cawapres jika permohonan pengujian undang-undang pemilu dikabulkan.
Sebaliknya, latar belakang permohonan sengketa pilpres sarat dengan dugaan pelanggaran etika oleh penguasa yang dimulai dengan Putusan 90, terbukti dengan putusan MKMK mengenai pelanggaran etika berat Anwar Usman, mantan ketua MK sebagai salah satu hakim konstitusi yang memutus saat itu. Selain itu, komunitas akademis yaitu mahasiswa dan para dosen serta tokoh masyarakat terlibat aktif menyuarakan keprihatinan mereka selama pemilu berlangsung.
Meski demikian, yang satu berujung pada ketidakadilan yang intolerable, tanpa keberadaan latar belakang ketidakadilan yang intolerable tersebut. Sedangkan, yang lain yang mempersoalkan dugaan pelanggaran etika dan kecurangan pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, malahan dipertimbangkan secara legalistik-formal.
Ketiga, bukti yang disampaikan pemohon yang menjadi dasar Putusan 90 hanya 3 (tiga) bukti. Satu adalah KTP pemohon. Dua bukti lainnya adalah fotokopi undang-undang pemilu dan fotokopi UUD 1945. Dengan tiga bukti seperti itu, pertimbangan hukum Putusan 90 sangat progresif dengan mempertimbangkan ketidakadilan yang intolerable.
Berlawanan dengan itu, di dua permohonan sengketa pilpres yang sarat dugaan kecurangan pemilu dan ketidakadilan, termasuk dalil ketidakadilan yang intolerable, dengan berjubelnya bukti yang disampaikan oleh pemohon, termohon, dan pihak terkait, MK mempertimbangkan bahwa dalil tidak beralasan menurut hukum.
Putusan 90, meski bisa dinilai progresif karena mempertimbangkan ketidakadilan yang intolerable, sesungguhnya “menyakiti” hati masyarakat sipil. Hal itu tampak jelas dengan begitu banyak laporan pelanggaran etika terhadap para hakim konstitusi yang berujung pada putusan MKMK.
Masyarakat sipil kemudian juga berupaya agar MK membatalkan pengujian undang-undang pemilu sebagaimana Putusan 90 tersebut dengan tiga permohonan lanjutan. Namun, ketiga permohonan tersebut ditolak oleh MK.
Alasan utamanya, Putusan 90 bersifat final dan mengikat serta untuk menjaga kepastian hukum yang adil, dengan tetap mempertimbangkan bahwa norma tersebut adalah opened legal policy yang menjadi wilayah pembentuk undang-undang. Dengan alasan tersebut, MK tampak sungkan untuk menguji kembali Putusan 90 dan mempertahankan sikapnya dalam Putusan 1 dan 2.
Terlepas dari dugaan kuat intervensi penguasa dan pelanggaran etika berat, MK-lah yang melahirkan Putusan 90 yang kontroversial. MK juga tidak tampak berupaya untuk memperbaiki kesalahannya tersebut dengan menolak tiga permohonan lanjutan yang berupaya mengesampingkan Putusan 90.
MK kembali tidak berupaya melihat korelasi sengketa hasil pemilu pilpres sebagai “akibat” dari Putusan 90 sebagai salah satu “sebab” dan tidak tampak memperhatikan keadilan substantif yang menjadi roh dalam kedua permohonan. Sikap MK sebagai institusi bertolak belakang dengan pertimbangan hukum ketika MK memutus Putusan 90.
Oleh karena itu, MK bertanggung jawab! Dan akibat ulah MK tersebut, maka bangsa Indonesia menerima dampaknya, yaitu mempunyai Wapres terpilih 2024-2029 yang lahir dari suatu Putusan 90 yang kontroversial, suatu luka yang tidak akan pernah sembuh.
Comments
Post a Comment