Diperiksa 10 Jam, Tom Lembong Didalami soal Surat Terkait Kebijakan Impor Gula
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa eks Menteri Perdagangan RI Thomas Trikasih Lembong atau akrab disapa Tom Lembong dalam kasus importasi gula. Ia diperiksa oleh penyidik Jampidsus Kejagung di Gedung Kartika Kejagung, Jumat (1/11).
Tom Lembong diperiksa selama kurang lebih 10 jam. Ia keluar ruang pemeriksaan sekitar pukul 20.28 WIB. Usai pemeriksaan tersebut, ia tak menyampaikan pernyataan ke media soal pemeriksaannya kali ini. Ia tampak hanya melempar senyum sembari memasuki mobil tahanan.
Pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mengungkapkan bahwa kliennya dicecar 10 pertanyaan oleh penyidik. Ia menyebut, Tom didalami terkait surat-surat yang dikeluarkannya untuk kebijakan importasi gula.
"Jadi, tadi masih ditunjukkan tentang surat-surat yang dibuat oleh Pak Tom, ya ada beberapa surat yang dibuat oleh Pak Tom, dan surat-surat yang masuk ke Pak Tom juga, dari PT PPI, surat yang dibuat Pak Tom ke BUMN," ujar Ari kepada wartawan, Jumat (1/11).
Menurutnya, surat terkait kebijakan itu dikeluarkan sesuai dengan prosedurnya dan juga dilaporkan secara berjenjang mulai dari Menko Perekonomian hingga Presiden.
"Sudah diproses dari bawah, sehingga sampai ke beliau, beliau tinggal menyetujui menandatangani gitu. Dan itu pun surat tersebut semuanya itu sudah dilaporkan ke Menko-nya dalam rapat-rapat koordinasi, gitu," papar dia.
"Jadi, semuanya prosesnya tidak ada yang salah, prosesnya sudah diikuti dengan benar," jelasnya.
Lebih lanjut, Ari mengungkapkan bahwa surat yang masuk ke kliennya saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan 2015–2016 juga lanjutan dari menteri sebelumnya.
"Pak Tom itu, kan, menjabat lanjutan, kan, dari menteri sebelumnya. Nah, jadi me-refer surat menteri sebelumnya, makanya Pak Tom tetap merapatkan dengan staf-stafnya yang tahu rencana awal dari menteri sebelumnya supaya kelanjutannya," ucap dia.
"Dan tentunya keinginan Pak Tom mengeluarkan kebijakan tentunya berdasarkan good governance, artinya pemerintahan yang baik, administrasinya juga benar," sambungnya.
Lebih lanjut, Ari juga menyatakan bahwa dirinya sempat berbicara langsung dengan Tom Lembong jelang memasuki ruang pemeriksaan.
Ia menyatakan bahwa kliennya itu tak menerima fee maupun aliran dana terkait kebijakan itu. Oleh karenanya, lanjut dia, kliennya dengan tegas menyatakan tak khawatir diduga terlibat dalam kasus korupsi impor gula tersebut.
"Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dia tegaskan seperti itu. Saya bilang, 'Oke, kalau begitu Pak Tom kita fight, you enggak usah khawatir'," kata dia.
"'Saya enggak khawatir, saya enggak khawatir sama sekali', kata dia. 'Cuma saya bingung aja kenapa saya masih ditahan', katanya," lanjut Ari menirukan ucapan Tom.
Ari mengaku kliennya belum didalami terkait komunikasi maupun hubungan yang dilakukan dengan tersangka lain dalam kasus ini, yakni Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI 2015–2016, Charles Sitorus.
"Tadi belum ditanyakan, belum ada hubungan ke sana tadi," pungkasnya.
Adapun pemeriksaan hari ini merupakan yang pertama kalinya usai Tom Lembong menjadi tersangka. Sebelumnya, penyidik telah memeriksanya sebanyak tiga kali sebagai saksi.
Perkara Tom Lembong
Kejagung menyebut bahwa kebijakan Tom Lembong memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) kepada pihak swasta yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih (GKP) diduga merugikan negara Rp 400 miliar.
Tapi dari pihak Tom Lembong, sebagaimana disampaikan Ari Yusuf Amir, kebijakan impor gula itu ada lantaran kondisi kedaruratan demi kepentingan nasional.
Menurut Ari, kebijakan tersebut telah melalui prosedur yang baku dan berjenjang. Selain itu, Tom Lembong disebut Ari tidak menerima fee maupun keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.
Izin Importasi Gula
Importasi 2015
Berdasarkan penuturan dari pihak Kejagung, pada 2015 terdapat rapat koordinasi antar kementerian yang telah menyimpulkan Indonesia surplus gula sehingga tidak perlu impor.
Namun, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku menteri diduga mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP. Kemudian gula kristal mentah itu diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, untuk memenuhi kebutuhan gula kristal putih hanya BUMN yang boleh mengimpor, bukan swasta. Izin itu diduga dikeluarkan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Importasi 2016
Kemudian, pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di Kementerian Bidang Perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu yang dibahas yakni Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal sebanyak 200 ribu ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.
Pada November-Desember 2015, Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia—BUMN), memerintahkan staf Senior Manager Bahan Pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.
Perusahaan gula swasta yang dimaksud yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI. Pertemuan terjalin sebanyak empat kali.
Pertemuan itu, guna membahas rencana kerja sama impor Gula Kristal Mentah yang diolah menjadi Gula Kristal Putih. Pihak Kejagung menyebut pembahasan itu atas sepengetahuan Direktur Utama PT PPI saat itu.
Kemudian Januari 2016, Tom Lembong menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula. Hal itu melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih sebanyak 300.000 ton.
Lalu, PT PPI ini membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT KTM.
"Meskipun seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP (gula kristal putih) secara langsung, dan yang dapat melakukan impor tersebut hanya BUMN (PT PPI)," kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam keterangannya 29 Oktober 2024.
Menurut Kejagung, seharusnya untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga yang diimpor adalah Gula Kristal Putih secara langsung. Selain itu, Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Ditambah lagi, kedelapan perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP memiliki izin industri sebagai produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi.
Setelah delapan perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi Rp 13.000/kg.
"Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp 105/kg," ucap Qohar.
"Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara/BUMN (PT PPI)," sambungnya.
Comments
Post a Comment