Prabowo Diminta Naikkan Lagi UMP Jadi 10 Persen Kalau Mau Dorong Daya Beli Warga
Keputusan Presiden Prabowo Subianto menaikkan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 menjadi 6,5 persen menuai banyak dukungan sekaligus protes karena terjadi di tengah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Dukungan, datang dari kalangan pekerja. Sementara penolakan dari pengusaha.
Direktur dan Founder Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan dengan kenaikan upah, maka pemerintah juga mendorong permintaan domestik. Kenaikan UMP untuk 2025 harusnya berkisar antara 8,7 hingga 10 persen.
“Hasil hitung-hitungan Celios, idealnya upah minimum naik di atas 8,7 sampai 10 persen karena bisa dorong PDB hingga Rp 106,3-Rp 122 triliun,” kata Bhima kepada kumparan, Sabtu (30/11).
Dalam dokumen hasil modelling team Celios 2024 mengenai skenario kenaikan upah minimum terhadap perekonomian nasional, ada tiga skenario kenaikan UMP, pertama 1,58 persen, 8,7 persen dan 10 persen.
Kenaikan upah sebesar 1,58 persen tambahan serapan tenaga kerja mencapai 188.403 orang. Lalu pada skenario kenaikan UMP 8,7 persen akan menyerap 1.037.409 tenaga kerja dan pada kenaikan UMP sebesar 10 persen dapat menyerap tenaga sebanyak 1.192.424 orang.
Selain itu, kenaikan upah ini juga akan menambah pendapatan pekerja, dalam skenario 1,58 persen misalnya, kenaikan pendapatan pekerja bisa sampai Rp 7,92 triliun.
Lalu pada skenario 8,7 persen, pendapatan pekerja akan bertambah Rp 43,61 triliun dan pada kenaikan 10 persen akan bertambah Rp 50,18 triliun.
“Ini menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak hanya meningkatkan pendapatan tetapi juga berpotensi memperluas lapangan kerja. Selain itu, kebijakan kenaikan upah minimum memiliki dampak positif yang besar terhadap kesejahteraan tenaga,” tulis laporan tersebut, dikutip Sabtu (30/11).
“Karena permintaan agregat naik maka perusahaan butuh tenaga kerja baru,” jelas Bhima.
Meski demikian, Bhima mengatakan saat ini Celios belum memiliki simulasi perhitungan dampak baik dari sisi pendapatan ataupun serapan tenaga kerja yang ditimbulkan oleh kenaikan upah 6,5 persen.
Selain itu, Bhima memandang saat ini pemerintah masih bisa mengerek kenaikan UMP ini, sebab belum diketok dalam sebuah aturan.
“Logikanya dengan kenaikan upah minimum yang lebih baik dari formulasi UU Cipta Kerja maka buruh punya daya beli tambahan, uangnya akan langsung memutar ekonomi. Prabowo kan belum menuangkan dalam aturan pemerintah, jadi masih ada waktu merevisi lagi lah,” terangnya.
Kabar Gembira Sekaligus Bikin Khawatir
Sementara itu, Direktur Pengembangan Big Data Indef, Eko Listiyanto, mengatakan kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen menjadi kabar baik untuk buruh dan karyawan. Meskipun belum memenuhi ekspektasi para buruh yaitu naik sebesar 10 persen.
“Jika dilihat secara umum UMP 2025 naik 6,5 persen relatif cukup baik dibanding tahun sebelumya, jadi ini kabar yanG cukup menggembirakan,” ujarnya kepada kumparan, Sabtu (30/11).
Meski demikian, kenaikan UMP 2025 seperti tarik menarik antara buruh dengan pengusaha. Buruh mau UMP naik 8-10 persen sedangkan pengusaha tak sanggup karena kondisi lagi sulit.
“Kalau konteks hari ini dengan pelemahan daya beli yang terjadi di masyarakat termasuk para buruh ini menurut saya pengusaha bisa lihat dari sisi positifnya yaitu tingkat konsumsi mereka bisa meningkat dan itu bisa mendorong kira-kira peningkatan daya beli di kalangan buruh,” terang Listiyanto.
Pada akhirnya, kata dia, menilai mereka akan ogah membeli produk industri sehingga nanti harapannya bisa menstimulasi perekonomian termasuk di kalangan pengusaha.
“Jualan juga banyak yang laku. karena yang beli ada daya belinya. ada peningkatan daya beli,” ujarnya
Di sisi lain, Listiyanto menilai ada positifnya untuk pengusaha. Jika kenaikan UMP ini dapat menstimulasi daya beli masyarakat sehingga bisa naik, maka omzet dari pengusaha juga akan meningkat.
“Jadi ternyata tahun depan para buruh itu punya daya beli lebih bagus, otomatis pengusaha juga menyediakan barang yang lebih banyak,” katanya.
Di samping itu, ia meminta agar PPN naik jadi 12 persen di 2025 bisa ditunda. Menurutnya ini bisa menstimulasi daya beli masyarakat.
“Meski tidak sepenuhnya karena pekerja di indonesia banyak yang informal, yang tidak UMR, dibandingkan formal itu tantangannya di negara berkembang seperti indonesia,” kata Listiyanto.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) merespons kebijakan pemerintah yang menetapkan kebijakan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2025 naik 6,5 persen.
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, memandang kenaikan UMP yang cukup signifikan ini akan berdampak langsung pada peningkatan beban operasional sektor usaha, utamanya biaya tenaga kerja, khususnya di sektor padat karya.
Sehingga, Shinta mengkhawatirkan kenaikan upah untuk tahun depan itu dapat memicu tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Terlebih, saat ini kondisi ekonomi nasional masih menghadapi tantangan global dan tekanan domestik.
“Kenaikan ini berisiko meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional. Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang PHK serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru,” kata Shinta melalui keterangan tertulis, Sabtu (30/11).
Comments
Post a Comment