Masyarakat 3 Kampung Anak Tuha Duduki Lahan, Tolak 20 Persen Plasma PT BSA
Lampung Geh, Lampung Tengah – Masyarakat dari tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, kembali menduduki lahan sebagai bentuk penolakan terhadap kesepakatan pemberian 20 persen kebun plasma antara Bupati Lampung Tengah dan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA). Tiga kampung tersebut yakni Kampung Bumi Aji, Negara Aji Baru, dan Negara Aji Tua yang tergabung dalam Marga Anak Tuha. Warga menyatakan penolakan karena merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses pembahasan hingga pengambilan keputusan terkait rencana pemberian plasma tersebut. Perwakilan masyarakat menyebutkan, kesepakatan 20 persen plasma hanya dihadiri oleh aparat desa dari masing-masing kampung, tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah. “Kesepakatan 20 persen plasma itu tidak pernah melibatkan masyarakat. Kami sebagai pihak yang selama puluhan tahun menjadi korban perampasan tanah tidak pernah diajak bermusyawarah,” kata perwakilan masyarakat. Masyarakat menilai kesepakatan tersebut tidak menyentuh akar persoalan konflik agraria yang mereka hadapi dengan PT BSA. Mereka juga menegaskan, skema plasma tidak memberikan jaminan pengembalian tanah marga yang diklaim telah dirampas oleh perusahaan. “Kesepakatan sepihak ini tidak menjawab konflik agraria yang terjadi di wilayah kami, bahkan berpotensi menambah penderitaan petani,” ujar mereka. Warga juga meminta Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah untuk tidak menjadi corong kepentingan perusahaan. Mereka mendesak agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin Hak Guna Usaha (HGU) PT BSA yang selama ini memicu konflik, intimidasi, dan penderitaan masyarakat. “Kami menegaskan penolakan terhadap seluruh hasil kesepakatan 20 persen plasma karena tidak pernah dibicarakan dalam musyawarah dengan masyarakat pemilik hak atas tanah,” tegas perwakilan Marga Anak Tuha. Mereka menyatakan, akan terus mempertahankan tanah marga mereka hingga pemerintah dan lembaga terkait menjalankan mandat konstitusi untuk melindungi hak masyarakat serta menindak perusahaan yang melakukan pelanggaran. Sementara itu, Direktur LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas turut menyoroti komitmen para pemilik HGU di Lampung yang menyatakan akan memfasilitasi 20 persen kebun plasma untuk masyarakat. Menurut Prabowo, kebijakan tersebut bukan hal baru dan sudah menjadi kewajiban perusahaan sejak lama. “Pemenuhan 20 persen plasma bukan kebijakan baru. Ini sudah diatur sejak Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang kemudian diperjelas melalui berbagai peraturan pelaksana,” kata Prabowo. Namun, ia menilai mayoritas perusahaan perkebunan di Lampung selama ini tidak menjalankan kewajiban tersebut. Bahkan, banyak perusahaan tetap memperpanjang HGU meski tidak memenuhi kewajiban plasmanya. “Pengumuman akan memulai plasma sekarang justru mempertegas bahwa selama ini terjadi pembiaran sistematis terhadap pelanggaran hukum,” ujarnya. Prabowo juga menilai skema plasma tidak otomatis menyelesaikan konflik agraria. Dalam banyak kasus, plasma justru menciptakan relasi ketergantungan baru dan tidak memulihkan hak masyarakat atas tanah yang telah dirampas. “Plasma tidak menyentuh aspek keadilan atas tanah-tanah rakyat yang dirampas, termasuk korban kriminalisasi dan kekerasan aparat,” tegasnya. Ia menambahkan, konflik antara masyarakat Marga Anak Tuha dan PT BSA merupakan salah satu contoh konflik agraria yang belum terselesaikan di Lampung. Menurut dia, solusi semestinya dilakukan melalui evaluasi menyeluruh seluruh HGU dan penindakan tegas terhadap perusahaan yang melanggar, hingga pada pencabutan izin. “Tanpa langkah struktural, plasma hanya menjadi selubung untuk mempertahankan ketimpangan dan konflik agraria,” pungkas Prabowo. (Cha)
Comments
Post a Comment