Undang-undang KIA Dinilai Masih Lemah dan Berpotensi Rancu dalam Implementasi
MANADO - Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender, menilai jika Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang belum lama ini disahkan, masih lemah dan berpotensi adanya kerancuan pada implementasi nantinya.
Sejumlah catatan kritis juga diberikan oleh Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender ini, seperti UU KIA belum inklusif karena tak melindungi ibu rumah tangga, perempuan adat, perempuan petani, perempuan nelayan, buruh migran, pekerja di sektor informal, termasuk pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan.
Padahal data yang ada, jumlah tenaga kerja di sektor informal telah mencapai sekitar 82,67 juta orang (55,9 persen), dan didominasi oleh perempuan.
Narahubung Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender, Dian Septi Trisnati, dalam rilisnya menyatakan walaupun UU KIA ini membuat terobosan dengan menambah cuti melahirkan 6 bulan untuk ibu, namun hal ini tidak mudah diimplementasikan karena ibu akan mendapat hak cuti tersebut jika terjadi kondisi khusus terkait kondisi kesehatan ibu dan/atau anak.
"Pada kenyataannya hak cuti melahirkan selama tiga bulan sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan (sekarang menjadi UU Cipta Kerja) sulit implementasinya dan belum maksimal karena lemahnya pengawasannya," ujar Dian Septi dalam rilisnya.
Lanjut dijelaskan, pada kenyataan di lapangan untuk mendapatkan cuti melahirkan, buruh perempuan harus melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan melalui serikat buruh. Ironisnya, banyak buruh perempuan yang belum berserikat dan tidak semua perusahaan memiliki serikat buruh atau serikat pekerja.
Dengan adanya cuti melahirkan enam bulan, ada potensi pihak perusahaan meminggirkan perempuan dengan tidak mempekerjakan buruh perempuan yang sudah menikah dan berpotensi hamil, dan bahkan memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan.
"UU KIA ini berpotensi menyebabkan diskriminasi tidak langsung kepada buruh perempuan ketika pemberi kerja lebih memilih buruh laki-laki dengan alasan mengurangi beban pelaksanaan Undang-Undang," kata Dian Septi.
Selain itu, ada juga beberapa catatan lain yang didapatkan oleh Jaringan Masyarakat Sipil terkait dengan pasal-pasal dalam UU KIA. Untuk itu ada beberapa rekomendasi yang diberikan terkait UU yang disahkan DPR RI pada 4 Juni 2024 dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19.
Berikut rekomendasi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender terkait UU KIA:
-
Melakukan harmonisasi UU KIA dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kesejahteraan ibu dan anak, seperti : UU Kesehatan, UU Perkawinan, UU Administrasi Kependudukan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundang-undangan lainnya termasuk aturan turunannya agar tidak saling tumpang tindih satu sama lain;
-
Membuat peraturan pelaksanaan UU KIA untuk menjamin terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak secara transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
-
Membuat Peraturan Presiden untuk membangun mekanisme koordinasi Kementerian/Lembaga Negara lintas sektor dan pemerintah daerah yang jelas dan terintegrasi;
-
Kementerian Ketenagakerjaan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan fungsi pengawasan ke perusahaan-perusahaan agar patuh menjalankan kewajiban yang diatur dalam UU KIA dan tidak memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan, serta memastikan tersedianya fasilitas layanan ramah ibu dan anak di tempat kerja dan fasilitas publik, antara lain melalui penyediaan : (1) Ruang laktasi yang higienis dengan fasilitas yang layak dan mudah di akses; (2) Tempat penitipan anak (daycare) dengan fasilitas yang memadai serta tenaga yang kompeten dan berpengalaman, serta (3) Penyediaan ruang bermain ramah anak yang layak;
-
Membuat langkah tindak afirmasi lain untuk mendukung perlindungan dan pemenuhan hak maternitas perempuan sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 7/ 1984 tentang ratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) dengan menciptakan lingkungan yang kondusif
-
Memastikan peran serta organisasi masyarakat sipil, khususnya organisasi/serikat buruh yang memiliki paralegal untuk melakukan pendampingan secara hukum bagi buruh perempuan terkait pemenuhan hak yang diatur dalam UU KIA.
manadobacirita
Comments
Post a Comment