Indonesia dalam Cengkeraman Bencana Ekologis
Banjir dan longsor yang kini menimpa wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dengan data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana per 3 Desember 2025 menunjukkan 807 jiwa meninggal, 647 orang hilang, 2.600 luka-luka, dan sekitar 582.500 orang mengungsi merupakan tragedi kemanusiaan sekaligus alarm ekologis nasional. Angka ini masih berpotensi terus bertambah seiring proses evakuasi yang masih berlangsung di berbagai wilayah terdampak.
Selain menimbulkan korban, tercatat sebanyak 299 jembatan mengalami kerusakan. Tak hanya itu, sebanyak 132 fasilitas peribadatan turut terdampak. Kerusakan juga terjadi pada sektor kesehatan dengan sembilan fasilitas pelayanan kesehatan dilaporkan rusak. Sementara itu, pada sektor permukiman, terdapat 3.600 rumah mengalami kerusakan berat, 2.100 rumah rusak sedang, dan 4.900 rumah rusak ringan. Kondisi ini menunjukkan besarnya dampak bencana terhadap kehidupan masyarakat dan infrastruktur di wilayah terdampak.
Sebagai perbandingan, sepanjang tahun 2024, BNPB mencatat mencatat lebih dari 5.400 kejadian bencana alam dan sekitar 90 persen di antaranya merupakan bencana hidrometeorologis seperti banjir, longsor, dan cuaca ekstrem. Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia kini berada dalam kondisi darurat ekologis yang semakin mengkhawatirkan.
Setiap angka korban seharusnya memaksa kita berhenti sejenak untuk bertanya apakah bencana ini benar-benar murni peristiwa alam atau justru hasil dari proses panjang kehancuran lingkungan yang terus terjadi tanpa koreksi serius.
Indonesia: “Juara Dua” Deforestasi Dunia
Salah satu penyebab utama meningkatnya intensitas bencana di Indonesia adalah deforestasi dan alih fungsi hutan yang masif. Laporan Forest Declaration Assessment tahun 2024 menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat kedua dunia dengan laju deforestasi tertinggi dengan kehilangan sekitar 1,18 juta hektare hutan hanya dalam satu periode evaluasi, luasan yang setara dengan sekitar 17 kali wilayah DKI Jakarta. Di tengah komitmen global menahan laju krisis iklim, Indonesia justru masih menjadi salah satu penyumbang terbesar kehilangan hutan tropis dunia.
Kerusakan ini bukan hanya berarti hilangnya pepohonan, tetapi juga lenyapnya sistem penyangga kehidupan yang selama ini berfungsi sebagai pengatur tata air, penahan longsor alami, penjaga stabilitas tanah, serta penopang keanekaragaman hayati. Data Global Forest Watch pada periode 2001 hingga 2024 menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan sekitar 32 juta hektare tutupan pohon baik hutan primer maupun sekunder. Jika dirata-ratakan, setiap menit Indonesia kehilangan hutan seluas empat hingga lima lapangan sepak bola. Kehilangan dalam skala sebesar ini berdampak langsung pada rusaknya keseimbangan hidrologis dan struktur geomorfologi wilayah.
Profesor Emil Salim pernah mengingatkan bahwa bencana ekologis di Indonesia bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan ancaman langsung terhadap keselamatan manusia karena hutan sejatinya adalah benteng perlindungan rakyat dari banjir, longsor, dan krisis air.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan telah melakukan pengendalian deforestasi melalui kebijakan moratorium izin baru di hutan primer dan gambut, serta melalui program rehabilitasi hutan dan lahan yang menargetkan jutaan hektare area kritis untuk dipulihkan setiap tahunnya. Pemerintah juga menegaskan bahwa angka deforestasi nasional disebut mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, besarnya angka kehilangan hutan yang masih terjadi menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan ini masih menjadi perdebatan serius di ruang publik.
Mengapa Deforestasi Mengubah Hutan Jadi Bom Waktu Bencana
Dalam kajian ekologi dan hidrologi lingkungan, hutan memiliki peran vital sebagai pengendali alami air dan tanah. Satu hektare hutan tropis mampu menahan ribuan meter kubik air hujan sebelum akhirnya mengalir ke sungai. Ketika hutan ditebang untuk perkebunan sawit, pertambangan, industri kayu, atau proyek infrastruktur, kemampuan alami ini lenyap sehingga air hujan tidak lagi terserap dengan baik, mengalir deras ke sungai dan permukiman, serta memicu banjir. Lereng tanah yang kehilangan ikatan akar pohon menjadi rapuh sehingga longsor mengintai setiap musim hujan, sementara daerah aliran sungai mengalami sedimentasi yang menyebabkan daya tampungnya menurun drastis.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa lebih dari 70 persen daerah aliran sungai di Indonesia kini berada dalam kondisi kritis. Dengan karakter Indonesia sebagai negara beriklim tropis yang memiliki curah hujan tinggi dan wilayah bergunung dengan ribuan sungai aktif, deforestasi dalam skala besar pada hakikatnya adalah bahan bakar utama bencana.
Pemerintah merespons kondisi ini melalui penguatan program rehabilitasi daerah aliran sungai, pembangunan bendungan, normalisasi sungai, serta penguatan sistem peringatan dini bencana. BNPB bersama kementerian terkait juga mengembangkan peta risiko bencana sebagai dasar kebijakan mitigasi berbasis wilayah. Namun di lapangan, banyak wilayah rawan masih terjebak dalam persoalan klasik berupa lemahnya pengawasan, tumpang tindih izin, dan alih fungsi lahan yang tetap berlangsung.
Akademisi kebencanaan dari Universitas Gadjah Mada, Prof Eko Teguh Paripurno, menegaskan bahwa sebagian besar bencana di Indonesia kini bukan lagi bencana alam murni, melainkan bencana ekologis akibat perubahan tutupan lahan dan kegagalan tata ruang.
Deforestasi, Emisi Karbon dan Krisis Iklim
Deforestasi berkaitan langsung dengan krisis iklim. Setiap hektare hutan tropis yang hilang melepaskan ratusan ton karbon ke atmosfer. Dengan kehilangan lebih dari satu juta hektare hutan per tahun, Indonesia berpotensi menyumbang ratusan juta ton emisi karbon tambahan setiap tahunnya. Padahal Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi melalui target Nationally Determined Contribution serta menargetkan net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah meluncurkan kebijakan perdagangan karbon, penguatan transisi energi, serta perlindungan ekosistem gambut dan mangrove sebagai penyerap emisi karbon alami. Bahkan Indonesia kerap tampil sebagai salah satu pemimpin diplomasi iklim dari negara berkembang. Namun jurang antara komitmen internasional dan realitas deforestasi di dalam negeri masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum sepenuhnya terjawab.
Greta Thunberg dalam berbagai forum internasional menegaskan bahwa negara-negara pemilik hutan tropis memegang tanggung jawab moral terbesar dalam menahan laju krisis iklim karena kehancuran hutan tropis berarti mempercepat kehancuran dunia.
Politik Ekonomi vs Sains dan Keberlanjutan: Konflik Fundamental
Ironisnya, proses deforestasi di Indonesia hampir selalu dibungkus atas nama pembangunan. Ekspansi perkebunan sawit, tambang, industri pulp, kawasan industri, hingga proyek strategis nasional membawa klaim pertumbuhan ekonomi, investasi, dan penciptaan lapangan kerja. Pemerintah menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur dan hilirisasi sumber daya alam adalah strategi untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Namun di sisi lain, tekanan terhadap kawasan hutan semakin meningkat. Jutaan hektare izin konsesi masih aktif dan sebagian tumpang tindih dengan kawasan hutan serta wilayah hidup masyarakat adat. Di sinilah terjadi konflik mendasar antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan keselamatan ekologis jangka panjang. Dalam teori pembangunan kritis, situasi ini disebut sebagai pembangunan ekstraktif yaitu model pembangunan yang mengeruk sumber daya alam secara masif demi pertumbuhan ekonomi, sementara risikonya berupa banjir, longsor, krisis air, dan kerusakan pangan harus ditanggung oleh rakyat.
Pakar tata ruang dari ITB, Prof Yayat Supriatna, menegaskan bahwa bencana di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kekacauan tata ruang karena banyak wilayah rawan justru dijadikan kawasan permukiman dan industri tanpa berbasis analisis risiko yang memadai.
Bencana di Aceh-Sumut-Sumbar 2025: Potret Krisis Ekologis
Bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tahun 2025 menjadi potret nyata kegagalan tata kelola lingkungan dan mitigasi bencana di Indonesia. Bencana ini bukan semata akibat curah hujan tinggi, melainkan juga cermin dari rusaknya kawasan lindung, lemahnya pengawasan izin usaha, buruknya perencanaan tata ruang, serta minimnya kebijakan pencegahan berbasis risiko. Negara masih lebih sering hadir setelah bencana terjadi melalui bantuan darurat, tetapi lemah dalam pencegahan yang seharusnya menjadi fondasi utama kebijakan kebencanaan.
Direktur Eksekutif WALHI dalam berbagai pernyataannya juga menegaskan bahwa hampir seluruh bencana besar di Indonesia memiliki jejak perizinan bermasalah dan konflik pemanfaatan ruang di belakangnya, sehingga bencana bukan sekadar musibah, melainkan hasil dari kebijakan yang salah arah.
Akuntabilitas, Bukan Hanya Doa
Banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Pemerintah telah menunjukkan sejumlah komitmen kebijakan, namun tanpa keberanian menghentikan ekspansi perusakan hutan dan memperkuat perlindungan ekosistem secara konsisten, komitmen tersebut berisiko tinggal sebagai dokumen politik semata. Penghentian alih fungsi hutan secara serampangan, percepatan reforestasi dan restorasi ekologis, penegakan tata ruang berbasis risiko, serta pelibatan ilmuwan, masyarakat adat, dan komunitas lokal dalam kebijakan lingkungan adalah langkah yang tak bisa lagi ditunda.
Jika tidak, bencana serupa bukan hanya akan terulang, tetapi akan datang dengan skala yang lebih besar dan korban yang semakin banyak. Pada akhirnya, bencana bukanlah peristiwa alam yang terjadi secara acak, melainkan produk kolektif dari keputusan manusia hari ini. Akuntabilitas atas bencana berarti akuntabilitas atas kehancuran ekologis yang selama ini dibiarkan berlangsung.
Comments
Post a Comment